Berselimut Lumut

Pelajaran apa yang bisa kita baca? Tanpa berprasangka mengapa kita ditempatkan dikeadaan yang sekarang. Baca dan pelajari, berharap moga berakhir baik

SEPARUHNYA?

Berkelana tertatih karena pecah

Mencari-cari seperti apa pecahnya

Dan mencari-cari di mana pecahannya

Berulangkali merekat tapi tak rekat

Pecah kembali lalu berkelana lagi

Pecah apa?

Dan pecahannya seperti apa?

Di mana separuhnya?

——

Hampir pukul 02.00 pagi, di depan layar dia menerawang setelah puisi tersusun. Lamat-lamat dia melihat, tulisannya terhenti… garis tulisan terus berkedap-kedip menunggu ketikan selanjutnya.

Bersahutan kokok ayam. Malaikat sedang turun ke bumi untuk menyambut pelantun doa pemuja Tuhan. Bukan untuk bertemu dirinya yang termenung dalam diam.

——

“Kau belum bertemu dia bujang?”

“Hah… bertemu siapa wak?”

“Separuh dirimu itu lah! Hahahaha”

Ketawa Wak Harun pecah, seperti mengerjai. Ada sesuatu yang dia ketahui dan aku tidak. Gatal juga, aku bertanya…

“Wak Harun, tadi uwak bilang akan memberitahu sesuatu yang akan membuat aku terkejut. Apa itu wak?”

“Ah iya… aku akan cerita kalau kau sholat maghrib dulu, sana!”

“Ibadah itu urusan pribadi wak, sekarang ceritakan wak!” Aku makin gatal.

Di hirupnya dalam-dalam aroma kopinya, lalu menyeruput kopinya. Seruputnya sangat dalam, sambil menatapku tajam. Aku seperti terhipnotis lalu patuh melangkah menuju langgar.

bersambung…

RUANG

Semakin sempitkah yang kau rasakan.

Sampai kau tak menyadari kehadirannya.

Padahal dia menunggumu merangkulnya.

Oh bukan, tersemyum melihatnya saja tak mengapa.

Bagianmu mulai terenggut keadaan yang terkontaminasi jaman.

Jangan salahkan mecin atas kebodohanmu.

Mecin tak salah apa-apa.

Padahal kau hanya mencari kambing hitam atas kebodohan yang mulai akut.

Tak ingin disalahkan, bahkan merasa tak bersalah. Egois

Mojoklah sebentar sendiri.

Tarik nafas kalau kau tak lupa caranya.

Biarkan oksigen sampai ke otak.

Berfikirlah, lalu tenggelam tenang dalam ruang.

MERONA MERAH

“Oi bujang, kau datang ke sini mau minum kopi atau melamun sampai hantu laut menyambar jasadmu?”

Lamunanku hambur saat wak harun menepuk pundakku. 

“Eh, wak..”

“Liat kopi kau tu, ampasnya sudah jauh mengendap ke dasar gelas, airnya sudah dingin, aromanyapun tak kau anggap. Kau seperti sedang selingkuh terang-terangan di depannya”

“Ah uwak bisa aja”. Aku tersenyum malu sambil menyeruput kopi hitamku yang sudah dingin.

Seperti hari lainnya, sore yang ramai dilapak kopi wak harun yang terletak di seberang pantai. Kelas warung kopi bintang lima untuk suguhan pemandangannya yang menghadap ke arah barat samudera pasifik. Gugusan pulau-pulau kecil dan semenanjung menjadi tembok penghalang gelombang angin barat, sehingga sepoi-sepoi saja saat sampai ke warung kopi wak harun.

Warung kopi yang terletak di sekitar pemukiman warga nelayan. Tak pelak, pelanggan kopi di sini adalah bapak-bapak nelayan. Pertama kali ke tempat ini saat perahu motor yang aku tumpangi harus merapat ke pesisir karena mesin motor perahu tiba-tiba rusak di tengah perjalanan. Saat itu aku akan melakukan spearfishing di laut lepas Lombok bersama teman-teman. Saat tiba di pulau, karena harus menunggu mesin yang diperbaiki kami berkeliling di sekitar pesisir sampai akhirnya menemukan warung kopi wak harun.

…. …. …..

Dan kali kedua, aku kembali ke pulau ini hanya untuk melarikan diri dari hiruk pikuk pekerjaan yang penat di ibukota. Sign surat cuti, pergi, melarikan diri, dan di sinilah aku, nongkrong di warung kopi. Jatuh hati ini saat pandangan pertama pada pulau yang terselip warung kopi dengan suguhan pemandangannya yang sangat indah. Dan untuk kali kedua aku kembali ke sini, hanya untuk duduk di sini.

Obrolan dengan wak harun membuat suasana semakin hangat di sore ini. 

“Kau mau menyelam lagi, bujang?”

“Bukan wak, aku cuma mau ke sini minum kopi sambil menikmati indahnya matahari terbenam hingga senja datang” 

“Hah… kau bercanda bujang”

“Nggak wak, aku naik pesawat jam 7 pagi tadi dan sampai jam 10. Dari bandara aku menuju terminal naik sado. Lanjut naik bus 4 jam menuju lombok utara, sampai di pelabuhan naik perahu sewa selama 2 jam dan sampailah ke pulau indah ini. Tak lupa naik ojek motor 15 menit untuk sampai ke warung kopi ini wak. Hanya agar tidak terlambat datang… dan alhamdulillah, aku sampai di sini wak”

“Whahaha….tak bisa ku saggah jika kau ingin lari dari kepenatan, dan aku tak akan bertanya lagi. Baiklah kalau begitu bujang, nikmati pelarianmu di kedai gubukku ini”

Wak Harun berlalu pergi dengan suara tawanya sambil menggeleng-geleng heran menatapku. Aku kembali sendiri, hampir jatuh dalam lamunan kembali, tiba-tiba aku mendengar suara teriakan Wak Harun dari jauh

“Bujang, nanti aku ceritakan dan kau akan terkejut, kembalilah melamun. Tapi hampir maghrib, hati-hati….hahahaha”

Aku hanya tersenyum simpul, tidak terlau menanggapi teriakan Wak Harun tentang apa yang ingin dia ceritakan karena dia memang suka bercerita. Ciri khas para penikmat kopi.

…. ….. …..

Tak lama adzan maghrib berkumandang, tertanda senja akan datang. Lalu langit perlahan redup, berubah syahdu, seperti malu merona merah.

Sebenarnya ada hal lain yang mengusik pikiranku semingguan ini. Mimpi, ya… mimpi yang datang berkali-kali dalam tidurku. Mimpi yang sangat jelas dan melekat di kepalaku. Mimpi itu terjadi di pulau ini, setelah langit berubah menjadi merona merah.

Bersambung….

catatan timur barat si penulis